Gagasan “demokrasi permusyawaratan”
berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila merupakan usaha sadar dari para
pendiri bangsa untuk membuat apa yang disebut Putnam “making democracy work”, atau apa yang disebut Saward “mengakar” (to take root),
dalam konteks keindonesiaan. Dalam ungkapan Soekarno: “Demokrasi yang
harus kita jalankan adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian
Indonesia sendiri. Jika tidak bisa berpikir demikian itu, kita nanti
tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan dari
rakyat itu” (Soekarno, 1958; Rahardjo dan Gusmian, 2002: 208).
Demokrasi dalam alam pikiran Indonesia
bukan sekadar alat-teknis, melainkan juga cerminan alam kejiwaan,
kepribadian dan cita-cita nasional. Dalam pandangan Soekarno, jika
demokrasi sekadar alat teknis, pada dasarnya tidaklah berbeda dengan
nasional-sosialisme (fasisme), maupun diktatur proletariat; yakni,
sekadar alat untuk mencapai bentuk masyarakat yang dicita-citakan, entah
masyarakat kapitalistis, sosialistis, maupun yang lain. Bahkan, dengan
mengutip pandangan seorang ahli sosiologi Karl Steuerman, Soekarno
menyatakan bahwa “demokrasi, apalagi yang dikenal oleh kita dengan parlementaire democratie itu adalah ideologi dari suatu periode saja”. Parlementaire democratie adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang naik (Kapitalismus in Aufstieg); adapun fasisme adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang menurun (Kapitalismus in Niedergang)—sebagai usaha terakhir untuk menyelamatkan kapitalisme. Selanjutnya dia tegaskan:
Tetapi di dalam cara pemikiran kita,
atau lebih tegas lagi di dalam cara keyakinan dan kepercayaan kita,
kedaulatan rakyat bukan sekadar alat saja. Kita berpikir dan berasa
bukan sekadar hanya secara teknis, tetapi juga secara kejiwaaan, secara
psikologis nasional, secara kekeluargaan. Di dalam alam pikiran dan
perasaan yang demikian itu maka demokrasi dus, bagi kita bukan sekadar
satu alat teknis saja, tetapi satu geloof, satu kepercayaan
dalam usaha mencapai bentuk masyarakat sebagai yang kita cita-citakan
Bahkan dalam segala perbuatan-perbuatan kita yang mengenal hidup
bersama, dalam istilah Jawa hidup bebrayan kita selalu hendak berdiri di atas dasar kekeluargaan, dasar musyawarah, demokrasi, yang kita namakan kedaulatan rakyat.
Karena demokrasi alam pemikiran Indonesia bukan sekadar alat teknis, melainkan juga mengandung jiwa pemikiran dan perasaan, maka perwujudan demokrasi itu hendaknya diletakkan di atas kepribadian bangsa Indonesia sendiri dan di atas cita-cita nasional mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Selanjutnya Soekarno menyatakan:
Oleh karena itulah bagi kita bangsa
Indonesia, demokrasi atau kedaulatan rakyat mempunyai corak nasional,
satu corak kepribadian kita, satu corak yang dus tidak perlu sama dengan
corak demokrasi yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa lain sebagai alat
teknis. Artinya, demokrasi kita adalah demokrasi Indonesia, demokrasi
yang disebutkan sebagai sila keempat itu adalah demokrasi Indonesia yang
membawa corak kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Tidak perlu
‘identik’ artinya sama dengan demokrasi yang dijalankan oleh
bangsa-bangsa lain.
Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”
mengandung beberapa ciri dari alam pemikiran demokrasi di Indonesia.
Dalam pokok pikiran ketiga dari Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa
kedaulatan itu berdasar atas “kerakyatan” dan “permusyawaratan”. Dengan
kata lain, demokrasi itu hendaknya mengandung ciri: (1) kerakyatan
(daulat rakyat); dan (2) permusyawaratan (kekeluargaan).
Cita-cita pemuliaan daulat rakyat bergema kuat dalam sanubari para pendiri bangsa sebagai pantulan dari semangat emansipasi dari aneka bentuk penindasan, khususnya penindasan yang ditimbulkan oleh kolonialisme dan feodalisme, yang bersahutan dengan semangat egalitarianisme. Cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat dalam politik; dengan memberi jalan bagi peranan dan pengaruh besar yang dimainkan oleh rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai pantulan dari semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui adanya “kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”. Dalam kaitan ini, Soekarno meyakini bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.[2] Karena itu, dengan “asas kerakyatan” itu, negara harus menjamin bahwa setiap warganegara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
Selain kedua ciri tersebut, demokrasi
Indonesia juga mengandung ciri “hikmat-kebijaksanaan”. Cita
hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis, sebagaimana
dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu hendaknya didasarkan pada
nilai-nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan
keadilan. Dalam kaitan ini, Mohammad Hatta menjelaskan bahwa,
“Kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang
mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Selanjutnya
dikatakan, “Karena itu demokrasi Indonesia bukan demokrasi liberal dan juga bukan demokrasi totaliter,
karena berkaitan secara menyeluruh dengan sila-sila Pancasila lainnya”
(Hatta, 1957: 34-35). Orientasi etis (hikmat-kebijaksanaan) ini
dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen
keadilan yang dapat menghadirkan suatu toleransi dan sintesis yang
positif sekaligus dapat mencegah kekuasaan dikendalikan oleh
“mayorokrasi” dan “minorokrasi”.
Dalam demokrasi permusyawaratan, suatu
keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat
prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan
bukan hanya berdasarkan subjektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua,
didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan
perseorangan atau golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan
demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang
bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial,
dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas
terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte
minoritas elit penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas.
Tentang bagaimana cara bekerjanya
demokrasi permusyawaratan, Hatta menganjurkan perlunya berjejak pada
tradisi permusyawaratan desa. Meski demikian, dia mengingatkan bahwa
tidak semuanya yang tampak bagus pada demokrasi desa bisa dipakai begitu
saja pada tingkat negara. ”Mufakat yang dipraktekkan di desa-desa ialah
mengambil keputusan dengan kata sepakat, dengan persetujuan semuanya,
setelah masalahnya diperbincangkan dengan panjang lebar.” Adapun pada
tingkat negara, menurutnya ”terdapat berbagai partai dan pertentangan
politik”, sehingga keputusan dengan mufakat secara bulat memang sulit
dicapai dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, sebagai pilihan
terakhir, harus dimungkinkan pengambilan keputusan dengan suara
terbanyak. Berkaitan dengan itu, Hatta menegaskan bahwa ”mufakat yang
dipaksakan sebagaimana lazim terjadi di negeri-negeri totaliter tidaklah
sesuai dengan paham demokrasi Indonesia, sebab mufakat baru jadi
sebagai hasil daripada permusyawaratan. Dengan tidak ada musyawarat, di
mana tiap-tiap orang berhak untuk menyatakan pendapatnya, tidak ada
mufakat” (Hatta, 1956; 1988: 14).
Dalam konteks inilah, Hatta mengingatkan
bahwa masyarakat kolektif yang demokratis perlu merawat mentalitas
kolektif yang cenderung pada kemaslahatan umum, sebagai prasyarat
rohaniah yang memudahkan tercapainya mufakat. Selengkapnya dia katakan:
Tetapi di dalam masyarakat kolektif yang
demokratis, seperti Indonesia, mentalitet orang-seorang berlainan dari
di dalam masyarakat individualis. Dalam segala tindakannya dan
menyatakan pendapatnya, ia terutama dikemudikan oleh kepentingan umum.
Dalam keselamatan kesemuanya terletak kepentingannya sendiri. Sebab itu,
pada dasarnya, mencapai kata sepakat lebih mudah.
Mentalitas kolektif ini, menurutnya,
tidak perlu membuat seseorang menjadi objek kolektivitas yang tidak
memiliki kebebasan untuk memilih. Yang diperlukan adalah bahwa
kemerdekaan individu itu harus beroperasi dalam batas garis kontur
kemaslahatan umum. Selengkapnya dia katakan:
Sungguh pun orang-seorang dalam
pikirannya dan dalam tindakannya ke luar terikat kepada cita-cita
kepentingan umum, ia bukan obyek semata-mata daripada kolektivitet,
seperti yang berlaku dalam negara totaliter. Ia tetap subyek yang
mempunyai kemauan, merdeka bergerak untuk mengadakan perhubungan yang
spesial, untuk mengadakan diferensiasi. Dalam perikatan masyarakat ia
tetap mempunyai cita-cita, mempunyai pikiran untuk mencapai
kemaslahatannya atau keselamatan umum (Hatta, 1956; 1988: 15).
Alhasil, dalam demokrasi
permusyawaratan, suara mayoritas diterima sebatas prasyarat minimum dari
demokrasi, yang masih harus berusaha dioptimalkan melalui partisipasi
dan persetujuan yang luas dari segala kekuatan secara inklusif.
Partisipasi dan persetujuan luas ini dicapai melalui persuasi, kompromi,
dan konsensus secara bermutu dengan mensyaratkan mentalitas kolektif
dengan bimbingan hikmat-kebijaksanaan, sehingga membuat kekuatan manapun
akan merasa ikut memiliki, loyal, dan bertanggung jawab atas segala
keputusan politik. Atas dasar itu, pemungutan suara (voting) harus
ditempatkan sebagai pilihan terakhir, dan itu pun masih harus
menjunjung tinggi semangat kekeluargaan yang saling menghormati.
Dalam demokrasi permusyawaratan,
kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak disertai
kesederajatan dan persaudaraan (kekeluargaan). Kesederajatan dan
semangat kekeluargaan dari perbedaan aneka gugus kebangsaan diperkuat
melalui pemuliaan nilai-nilai keadilan. Menurut penjelasan Mohammad
Hatta, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan berhubung erat pula dengan sila Keadilan
Sosial, yakni untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”
(Hatta, 1957: 35). Lebih lanjut, dalam Demokrasi Kita (1960),
Hatta mengatakan, “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan
persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula
berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan
dan persaudaraan belum ada”. Senada dengan itu, Soekarno menegaskan
bahwa demokrasi yang harus dikibarkan di negara ini adalah demokrasi
politik dan ekonomi: Bagaimana dan demokrasi yang harus
dituliskan di atas bendera kita,--yang harus kita adakan di seberang
jembatan-emas? Demokrasi kita haruslah demokrasi baru, demokrasi sejati,
demokrasi yang sebenar-benarnya pemerintahan Rakyat. Bukan ’demokrasi’ à
la Eropah dan Amerika yang hanya suatu ’potret dari pantatnya’
demokrasi-politik sahaja, bukanlah demokrasi yang memberi kekuasaan 100%
pada Rakyat di dalam urusan politik sahaja, tetapi suatu demokrasi
politik dan ekonomi yang memberi 100% kecakrawartian pada Rakyat-jelata
di dalam urusan politik dan urusan ekonomi. Demokrasi politik dan
ekonomi inilah satu-satunya demokrasi yang boleh dituliskan di atas
bendera partai,--ditulis dengan aksara-aksara-api sebagai di atas saya
katakan, agar supaya menyala-nyala tertampak dari ladang dan sawah dan
bingkil dan paberik di mana Marhaen berkeluh-kesah mandi keringat
mencari sesuap nasi (Soekarno, 1965: 320).
Sebagai ekspresi dari demokrasi yang
bersemangat keadilan, demokrasi Indonesia mengembangkan sistem
pemerintahan yang memberi peran penting pada negara dalam mengembangkan
kesejahteraan rakyat (negara-pengurus). Basis legitimasi negara-pengurus
(negara kesejahteraan ala Indonesia) ini bersumber pada empat jenis
tanggung jawab/responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan,
pengetahuan, dan keadilan-perdamaian.
Negara-pengurus memiliki legitimasi
sejauh dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, dengan mengatasi paham perseorangan dan golongan.
Negara memiliki legitimasi kesejahteraan sejauh dapat menguasai
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak; menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkadung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat; mampu mengembangkan perekonomian sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan; serta mengembangkan berbagai
sistem jaminan sosial. Negara memiliki legitimasi pengetahuan, sejauh
dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dengan jalan memajukan pendidikan
dan kebudayaan. Negara memiliki legitimasi keadilan-perdamaian, sejauh
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, dengan mengembangkan politik luar
negeri “bebas-aktif”.
Mohammad Hatta, dalam pidato di hadapan Konferensi Pamong Praja di Solo, 7 Februari 1946, menegaskan bahwa Indonesia bertekad untuk mengupayakan demokrasi tidak hanya dalam hal politik saja, melainkan dalam pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, jika sudah ada eksekutif terpilih, legislatif terpilih, dan yudikatif tertata, maka hal itu tidaklah cukup. Hal-hal yang menyangkut partisipasi dalam ekonomi, keterbukaan dalam interaksi antarkelompok primordial dalam masyarakat, akses masyarakat akan kepastian hukum dan layanan publik, adalah hal yang tak kalah pentingnya. Demokrasi Indonesia menghendaki bukan hanya berjalannya prosedur pengambilan keputusan dalam badan perwakilan, melainkan juga upaya nyata pemerintahan pusat dan daerah untuk mampu menyelenggarakan kesejahteraan.
Penting juga diperhatikan bahwa sila
kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri oleh sila
keadilan. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia mengandaikan adanya
semangat persatuan (kekeluargaan) terlebih dahulu, dan setelah demokrasi
politik dijalankan, pemerintah yang memegang kekuasaan diharapkan dapat
mewujudkan keadilan sosial. Demokrasi politik menjadi prasyarat bagi
“demokrasi sosial” yang bersifat kekeluargaan.
Pada akhirnya, demokrasi permusyawaratan
juga meneknkan pentingya semangat para penyelenggara negara dan
kebijaksanaan rakyat. Dalam pandangan Soepomo, “Segala sistem ada baik
dan jeleknya,... sistem mana saja tidak sempurna.” Oleh karena itu,
apapun sistem demokrasi yang dirancang oleh Indonesia untuk
kesempurnaannya sangatlah ditentukan oleh semangat penyelenggara negara
untuk menyesuaikan sikap moralitasnya dengan alam pikiran Pancasila.
Padaku Tuan Ketua, yang sangat penting
dalam pemerintahan dan dalam hidup negara, ialah semangat, semangat para
penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun
kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat
kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin
pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu
tidak ada artinya dalam praktek.
Dalam pada itu, untuk menutupi hal-hal
yang belum diatur dalam hukum dasar dan juga dalam menentukan pilihan
yang terbaik bagi kepemimpinan nasional, para pendiri bangsa juga
memberikan kepercayaan kepada kebijaksanaan rakyat. Dalam ungkapan
Soekarno, “Panitia berkepercayaan penuh kepada kebijaksanaan rakyat
Indonesia.” Kepercayaan yang menyiratkan pentingnya peran dan tanggung
jawab warganegara dalam merealisasikan demokrasi berdasarkan semangat
(alam pikiran) Pancasila.
Demokrasi dalam alam Pancasila dilandasi
oleh nilai-nilai teosentris--yang mengangkat kehidupan politik dari
tingkat sekular ke tingkat moral-spiritual—dan nilai-nilai
antroposentris yang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, yang menghargai
perbedaan berlandaskan semangat kesetaraan dan persaudaraan, dengan
wewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan
kata lain, seperti dinyatakan oleh Notonagoro (1974), “Sila keempat:
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila
ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, meluputi dan menjiwai sila keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.”
Penutup
Cita-cita kedaulatan rakyat (demokrasi)
memiliki jangkar yang kuat dalam sejarah politik Indonesia. Stimulusnya
bersumber dari tradisi musyawarah desa; semangat kesederajatan,
persaudaraan dan permusyawaratan Islam; dan gagasan emansipasi dan
sosial-demokrasi Barat. Semangatnya dikobarkan oleh kehendak untuk
membebaskan diri dari represi politik dan ekonomi
kolonialisme-kapitalisme.
Kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan
semangat kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Berakhirnya
kolonialisme menimbulkan harapan kuat di kalangan rakyat bahwa batasan
dan diskriminasi sosial yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial akan
sirna. Kata “merdeka”, yang telah menjadi pekik umum di ruang publik,
juga mengandung tuntutan bagi perbaikan status sosial. Dengan merdeka,
orang-orang dari pelbagai kelas dan kelompok status mulai berbagi impian
yang sama untuk diperlakukan sebagai warganegara kelas satu.
Dengan mempertimbangkan tradisi
gotong-royong masyarakat Indonesia, watak multikultural kebangsaan
Indonesia, dan pengalaman keterjajahan yang ditimbulkan oleh
kolonialisme sebagai perpanjangan dari kapitalisme dan individualisme,
para pendiri bangsa menggagas demokrasi yang sejalan dengan alam pikiran
dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Yakni suatu demokrasi
permusyawaratan yang menyediakan wahana bagi perwujudan semangat
kekeluargaan dan keadilan sosial di bawah bimbingan
hikmah-kebijaksanaan. di bawah semangat kekeluargaan, negara
yang berkedaulatan rakyat itu mengandung cita-cita kerakyatan dan
permusyawaratan. Dalam visi negara ini, demokrasi memperoleh
kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik
berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat
persaudaraan dalam kerangka ’musyawarah-mufakat”. Dalam prinsip
musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas
(mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha
(minorokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan yang
memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap
warganegara tanpa pandang bulu.
Di bawah orientasi etis
hikmah-kebijaksanaan, demokrasi direalisasikan dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai Ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;
serta nilai-nilai persatuan (kekeluargaan) dan keadilan. Demokrasi yang
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab, mewajibkan para penyelenggara negara untuk memelihara
budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita moral rakyat
yang luhur. Demokrasi yang berdasarkan nilai persatuan dan keadilan,
dituntut untuk dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas persatuan dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Orientasi etis “hikmah-kebijaksanaan”
juga mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan yang mendalam yang
mengatasi ruang dan waktu tentang materi yang dimusyawarahkan. Melalui
hikmah itulah mereka yang mewakili rakyat bisa merasakan, menyelami dan
mengetahui apa yang dipikirkan rakyat untuk kemudian diambil keputusan
yang bijaksana yang membawa republik ini pada keadaan yang lebih baik.
Orientasi etis “hikmah-kebijaksanaan” juga menyaratkan kearifan untuk
dapat menerima perbedaan secara positif dengan memuliakan apa yang
disebut sebagai ”kebajikan keberadaban” (the virtue of civility); yakni
rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan dan kesediaan
untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk
kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib
sipil.
Untuk itu, segala kekuatan dalam
masyarakat, tanpa pandang bulu, harus diberi akses ke dalam proses
pengambilan keputusan. Wakil-wakil rakyat berdialog dengan pengetahuan
dan kearifannya; bukan dengan kepentingan kelompoknya. Dengan bimbingan
hikmah-kebijaksanaan, perilaku politik yang etis akan berkembang. Di
lembaga perwakilan, wakil-wakil rakyat berdebat, bersikukuh dengan
kebenaran pendapatnya namun dengan menjunjung etika politik dan semangat
kekeluargaan. Rakyat pun akan melihat apa yang dilakukan wakil-wakilnya
itu memang merepresentasikan kedaulatan rakyat, bukan memperalat rakyat
untuk mencapai tujuannya. Dengan dimuliakannya aspirasi rakyat dalam
proses demokrasi politik di lembaga perwakilan, rakyat juga dituntut
untuk menjadi warganegara yang bijaksana, yang memahami hak dan
kewajibannya, serta bertanggung jawab dalam menjalankan partisipasi
politiknya
Sumber : NEGARA PARIPURNA (Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas) karangan Yudi Latif (Penerbit Gramedia Pustaka) Pada BAB 5 (Lima) (Hal : 475 - 488)
Sumber : NEGARA PARIPURNA (Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas) karangan Yudi Latif (Penerbit Gramedia Pustaka) Pada BAB 5 (Lima) (Hal : 475 - 488)
5 komentar:
nice post, thanks for sharing...
Jual Kondom
Alat Bantu Sex
Kondom Duri
Kondom Gerigi
Kondom Getar
Obat Wasir
Kata kata bijak kadangkala menjadi motivasi bagi kita dalam menjalani kerasnya kehidupan.
Tidak semua yang ada di dunia ini bisa kita miliki sehingga kita pun merasa sedih karena tidak bisa meraihnya.
Maka dari itu dibutuhkan kata kata bijak tentang kehidupan yang bisa menenangkan hati agar menjadi lebih bijak dalam memaknai hidup.
Dengan mendengar atau membaca kata kata bijak singkat memang dapat memberikan semangat kepada seseorang untuk menghadapi kehidupan ini.
Baik dari masalah kehidupan sehari-hari maupun masalah percintaan, sebenarnya bisa saja dihadapi dengan bijak, namun bagaimana masing-masing pribadi menerima kenyataan dengan lapang dada dan pikiran terbuka.
*. Jual Herbal Bee di Jakarta
*. Jual Herbal Bee
*. Herbal Bee
*. Harga Herbal Bee 2019
*. Promil Herbal Bee
*. Jual Obat Cepat Hamil di Jakarta
*. Jual Obat Cepat Hamil
*. Obat Cepat Hamil
*. Jual Obat Cepat Hamil
*. Promil Herbal Bee
Herbal Bee
Promil Herbal Bee
Doa Agar Cepat Hamil
Promil Suami Azoospermia
Cara Cepat Hamil
Promil Yang Terbukti Berhasil
Obat Kuat Pria
Obat Kuat Pria
Promil Suami Asthenozoospermia
Tips Pemasaran
Posting Komentar