Minggu, 24 November 2013

Membumikan Demokrasi Permusyawaratan dalam Kerangka Pancasila

     Gagasan “demokrasi permusyawaratan” berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila merupakan usaha sadar dari para pendiri bangsa untuk membuat apa yang disebut Putnam “making democracy work”, atau apa yang disebut Saward “mengakar” (to take root), dalam konteks keindonesiaan. Dalam ungkapan Soekarno: “Demokrasi yang harus kita jalankan adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jika tidak bisa berpikir demikian itu, kita nanti tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan dari rakyat itu” (Soekarno, 1958; Rahardjo dan Gusmian, 2002: 208).
     Demokrasi dalam alam pikiran Indonesia bukan sekadar alat-teknis, melainkan juga cerminan alam kejiwaan, kepribadian dan cita-cita nasional. Dalam pandangan Soekarno, jika demokrasi sekadar alat teknis, pada dasarnya tidaklah berbeda dengan nasional-sosialisme (fasisme), maupun diktatur proletariat; yakni, sekadar alat untuk mencapai bentuk masyarakat yang dicita-citakan, entah masyarakat kapitalistis, sosialistis, maupun yang lain. Bahkan, dengan mengutip pandangan seorang ahli sosiologi Karl Steuerman, Soekarno menyatakan bahwa “demokrasi, apalagi yang dikenal oleh kita dengan parlementaire democratie itu adalah ideologi dari suatu periode saja”. Parlementaire democratie adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang naik (Kapitalismus in Aufstieg); adapun fasisme adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang menurun (Kapitalismus in Niedergang)—sebagai usaha terakhir untuk menyelamatkan kapitalisme. Selanjutnya dia tegaskan:
Tetapi di dalam cara pemikiran kita, atau lebih tegas lagi di dalam cara keyakinan dan kepercayaan kita, kedaulatan rakyat bukan sekadar alat saja. Kita berpikir dan berasa bukan sekadar hanya secara teknis, tetapi juga secara kejiwaaan, secara psikologis nasional, secara kekeluargaan. Di dalam alam pikiran dan perasaan yang demikian itu maka demokrasi dus, bagi kita bukan sekadar satu alat teknis saja, tetapi satu geloof, satu kepercayaan dalam usaha mencapai bentuk masyarakat sebagai yang kita cita-citakan Bahkan dalam segala perbuatan-perbuatan kita yang mengenal hidup bersama, dalam istilah Jawa hidup bebrayan kita selalu hendak berdiri di atas dasar kekeluargaan, dasar musyawarah, demokrasi, yang kita namakan kedaulatan rakyat.
 
   Karena demokrasi alam pemikiran Indonesia bukan sekadar alat teknis, melainkan juga mengandung jiwa pemikiran dan perasaan, maka perwujudan demokrasi itu hendaknya diletakkan di atas kepribadian bangsa Indonesia sendiri dan di atas cita-cita nasional mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Selanjutnya Soekarno menyatakan:
Oleh karena itulah bagi kita bangsa Indonesia, demokrasi atau kedaulatan rakyat mempunyai corak nasional, satu corak kepribadian kita, satu corak yang dus tidak perlu sama dengan corak demokrasi yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa lain sebagai alat teknis. Artinya, demokrasi kita adalah demokrasi Indonesia, demokrasi yang disebutkan sebagai sila keempat itu adalah demokrasi Indonesia yang membawa corak kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Tidak perlu ‘identik’ artinya sama dengan demokrasi yang dijalankan oleh bangsa-bangsa lain.
Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” mengandung beberapa ciri dari alam pemikiran demokrasi di Indonesia. Dalam pokok pikiran ketiga dari Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kedaulatan itu berdasar atas “kerakyatan” dan “permusyawaratan”. Dengan kata lain, demokrasi itu hendaknya mengandung ciri: (1) kerakyatan (daulat rakyat); dan (2) permusyawaratan (kekeluargaan).
 
   Cita-cita pemuliaan daulat rakyat bergema kuat dalam sanubari para pendiri bangsa sebagai pantulan dari semangat emansipasi dari aneka bentuk penindasan, khususnya penindasan yang ditimbulkan oleh kolonialisme dan feodalisme, yang bersahutan dengan semangat egalitarianisme. Cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat dalam politik; dengan memberi jalan bagi peranan dan pengaruh besar yang dimainkan oleh rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai pantulan dari semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui adanya “kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”. Dalam kaitan ini, Soekarno meyakini bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.[2] Karena itu, dengan “asas kerakyatan” itu, negara harus menjamin bahwa setiap warganegara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
Selain kedua ciri tersebut, demokrasi Indonesia juga mengandung ciri “hikmat-kebijaksanaan”. Cita hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis, sebagaimana dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu hendaknya didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan.           Dalam kaitan ini, Mohammad Hatta menjelaskan bahwa, “Kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Selanjutnya dikatakan, “Karena itu demokrasi Indonesia bukan demokrasi liberal dan juga bukan demokrasi totaliter, karena berkaitan secara menyeluruh dengan sila-sila Pancasila lainnya” (Hatta, 1957: 34-35). Orientasi etis (hikmat-kebijaksanaan) ini dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang dapat menghadirkan suatu toleransi dan sintesis yang positif sekaligus dapat mencegah kekuasaan dikendalikan oleh “mayorokrasi” dan “minorokrasi”.
    Dalam demokrasi permusyawaratan, suatu keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan bukan hanya berdasarkan subjektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elit penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas.
Tentang bagaimana cara bekerjanya demokrasi permusyawaratan, Hatta menganjurkan perlunya berjejak pada tradisi permusyawaratan desa. Meski demikian, dia mengingatkan bahwa tidak semuanya yang tampak bagus pada demokrasi desa bisa dipakai begitu saja pada tingkat negara. ”Mufakat yang dipraktekkan di desa-desa ialah mengambil keputusan dengan kata sepakat, dengan persetujuan semuanya, setelah masalahnya diperbincangkan dengan panjang lebar.” Adapun pada tingkat negara, menurutnya ”terdapat berbagai partai dan pertentangan politik”, sehingga keputusan dengan mufakat secara bulat memang sulit dicapai dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, sebagai pilihan terakhir, harus dimungkinkan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak.  Berkaitan dengan itu, Hatta menegaskan bahwa ”mufakat yang dipaksakan sebagaimana lazim terjadi di negeri-negeri totaliter tidaklah sesuai dengan paham demokrasi Indonesia, sebab mufakat baru jadi sebagai hasil daripada permusyawaratan. Dengan tidak ada musyawarat, di mana tiap-tiap orang berhak untuk menyatakan pendapatnya, tidak ada mufakat” (Hatta, 1956; 1988: 14).
Dalam konteks inilah, Hatta mengingatkan bahwa masyarakat kolektif yang demokratis perlu merawat mentalitas kolektif yang cenderung pada kemaslahatan umum, sebagai prasyarat rohaniah yang memudahkan tercapainya mufakat. Selengkapnya dia katakan:
Tetapi di dalam masyarakat kolektif yang demokratis, seperti Indonesia, mentalitet orang-seorang berlainan dari di dalam masyarakat individualis. Dalam segala tindakannya dan menyatakan pendapatnya, ia terutama dikemudikan oleh kepentingan umum. Dalam keselamatan kesemuanya terletak kepentingannya sendiri. Sebab itu, pada dasarnya, mencapai kata sepakat lebih mudah.
Mentalitas kolektif ini, menurutnya, tidak perlu membuat seseorang menjadi objek kolektivitas yang tidak memiliki kebebasan untuk memilih. Yang diperlukan adalah bahwa kemerdekaan individu itu harus beroperasi dalam batas garis kontur kemaslahatan umum. Selengkapnya dia katakan:
Sungguh pun orang-seorang dalam pikirannya dan dalam tindakannya ke luar terikat kepada cita-cita kepentingan umum, ia bukan obyek semata-mata daripada kolektivitet, seperti yang berlaku dalam negara totaliter. Ia tetap subyek yang mempunyai kemauan, merdeka bergerak untuk mengadakan perhubungan yang spesial, untuk mengadakan diferensiasi. Dalam perikatan masyarakat ia tetap mempunyai cita-cita, mempunyai pikiran untuk mencapai kemaslahatannya atau keselamatan umum (Hatta, 1956; 1988: 15).
     Alhasil, dalam demokrasi permusyawaratan, suara mayoritas diterima sebatas prasyarat minimum dari demokrasi, yang masih harus berusaha dioptimalkan melalui partisipasi dan persetujuan yang luas dari segala kekuatan secara inklusif. Partisipasi dan persetujuan luas ini dicapai melalui persuasi, kompromi, dan konsensus secara bermutu dengan mensyaratkan mentalitas kolektif dengan bimbingan hikmat-kebijaksanaan, sehingga membuat kekuatan manapun akan merasa ikut memiliki, loyal, dan bertanggung jawab atas segala keputusan politik.  Atas dasar itu, pemungutan suara (voting) harus ditempatkan sebagai pilihan terakhir, dan itu pun masih harus menjunjung tinggi semangat kekeluargaan yang saling menghormati.
Dalam demokrasi permusyawaratan, kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak disertai kesederajatan dan persaudaraan (kekeluargaan). Kesederajatan dan semangat kekeluargaan dari perbedaan aneka gugus kebangsaan diperkuat melalui pemuliaan nilai-nilai keadilan. Menurut penjelasan Mohammad Hatta, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berhubung erat pula dengan sila Keadilan Sosial, yakni untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat” (Hatta, 1957: 35). Lebih lanjut, dalam Demokrasi Kita (1960), Hatta mengatakan, “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada”. Senada dengan itu, Soekarno menegaskan bahwa demokrasi yang harus dikibarkan di negara ini adalah demokrasi politik dan ekonomi: Bagaimana dan demokrasi yang harus dituliskan di atas bendera kita,--yang harus kita adakan di seberang jembatan-emas? Demokrasi kita haruslah demokrasi baru, demokrasi sejati, demokrasi yang sebenar-benarnya pemerintahan Rakyat. Bukan ’demokrasi’ à la Eropah dan Amerika yang hanya suatu ’potret dari pantatnya’ demokrasi-politik sahaja, bukanlah demokrasi yang memberi kekuasaan 100% pada Rakyat di dalam urusan politik sahaja, tetapi suatu demokrasi politik dan ekonomi yang memberi 100% kecakrawartian pada Rakyat-jelata di dalam urusan politik dan urusan ekonomi. Demokrasi politik dan ekonomi inilah satu-satunya demokrasi yang boleh dituliskan di atas bendera partai,--ditulis dengan aksara-aksara-api sebagai di atas saya katakan, agar supaya menyala-nyala tertampak dari ladang dan sawah dan bingkil dan paberik di mana Marhaen berkeluh-kesah mandi keringat mencari sesuap nasi (Soekarno, 1965: 320).
    Sebagai ekspresi dari demokrasi yang bersemangat keadilan, demokrasi Indonesia mengembangkan sistem pemerintahan yang memberi peran penting pada negara dalam mengembangkan kesejahteraan rakyat (negara-pengurus). Basis legitimasi negara-pengurus (negara kesejahteraan ala Indonesia) ini bersumber pada empat jenis tanggung jawab/responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, dan keadilan-perdamaian.
Negara-pengurus memiliki legitimasi sejauh dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dengan mengatasi paham perseorangan dan golongan. Negara memiliki legitimasi kesejahteraan sejauh dapat menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; mampu mengembangkan perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; serta mengembangkan berbagai sistem jaminan sosial. Negara memiliki legitimasi pengetahuan, sejauh dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dengan jalan memajukan pendidikan dan kebudayaan. Negara memiliki legitimasi keadilan-perdamaian, sejauh ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dengan mengembangkan politik luar negeri “bebas-aktif”.

     Mohammad Hatta, dalam pidato di hadapan Konferensi Pamong Praja di Solo, 7 Februari 1946, menegaskan bahwa Indonesia bertekad untuk mengupayakan demokrasi tidak hanya dalam hal politik saja, melainkan dalam pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, jika sudah ada eksekutif terpilih, legislatif terpilih, dan yudikatif tertata, maka hal itu tidaklah cukup. Hal-hal yang menyangkut partisipasi dalam ekonomi, keterbukaan dalam interaksi antarkelompok primordial dalam masyarakat, akses masyarakat akan kepastian hukum dan layanan publik, adalah hal yang tak kalah pentingnya. Demokrasi Indonesia menghendaki bukan hanya berjalannya prosedur pengambilan keputusan dalam badan perwakilan, melainkan juga upaya nyata pemerintahan pusat dan daerah untuk mampu menyelenggarakan kesejahteraan.
Penting juga diperhatikan bahwa sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri oleh sila keadilan. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia mengandaikan adanya semangat persatuan (kekeluargaan) terlebih dahulu, dan setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintah yang memegang kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial. Demokrasi politik menjadi prasyarat bagi “demokrasi sosial” yang bersifat kekeluargaan.
Pada akhirnya, demokrasi permusyawaratan juga meneknkan pentingya semangat para penyelenggara negara dan kebijaksanaan rakyat. Dalam pandangan Soepomo, “Segala sistem ada baik dan jeleknya,... sistem mana saja tidak sempurna.” Oleh karena itu, apapun sistem demokrasi yang dirancang oleh Indonesia untuk kesempurnaannya sangatlah ditentukan oleh semangat penyelenggara negara untuk menyesuaikan sikap moralitasnya dengan alam pikiran Pancasila.
Padaku Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek.
Dalam pada itu, untuk menutupi hal-hal yang belum diatur dalam hukum dasar dan juga dalam menentukan pilihan yang terbaik bagi kepemimpinan nasional, para pendiri bangsa juga memberikan kepercayaan kepada kebijaksanaan rakyat. Dalam ungkapan Soekarno, “Panitia berkepercayaan penuh kepada kebijaksanaan rakyat Indonesia.” Kepercayaan yang menyiratkan pentingnya peran dan tanggung jawab warganegara dalam merealisasikan demokrasi berdasarkan semangat (alam pikiran) Pancasila.
Demokrasi dalam alam Pancasila dilandasi oleh nilai-nilai teosentris--yang mengangkat kehidupan politik dari tingkat sekular ke tingkat moral-spiritual—dan nilai-nilai antroposentris yang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, yang menghargai perbedaan berlandaskan semangat kesetaraan dan persaudaraan, dengan wewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan kata lain, seperti dinyatakan oleh Notonagoro (1974), “Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, meluputi dan menjiwai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Penutup
    Cita-cita kedaulatan rakyat (demokrasi) memiliki jangkar yang kuat dalam sejarah politik Indonesia. Stimulusnya bersumber dari tradisi musyawarah desa; semangat kesederajatan, persaudaraan dan permusyawaratan Islam; dan gagasan emansipasi dan sosial-demokrasi Barat. Semangatnya dikobarkan oleh kehendak untuk membebaskan diri dari represi politik dan ekonomi kolonialisme-kapitalisme.
     Kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan semangat kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Berakhirnya kolonialisme menimbulkan harapan kuat di kalangan rakyat bahwa batasan dan diskriminasi sosial yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial akan sirna. Kata “merdeka”, yang telah menjadi pekik umum di ruang publik, juga mengandung tuntutan bagi perbaikan status sosial. Dengan merdeka, orang-orang dari pelbagai kelas dan kelompok status mulai berbagi impian yang sama untuk diperlakukan sebagai warganegara kelas satu.
     Dengan mempertimbangkan tradisi gotong-royong masyarakat Indonesia, watak multikultural kebangsaan Indonesia, dan pengalaman keterjajahan yang ditimbulkan oleh kolonialisme sebagai perpanjangan dari kapitalisme dan individualisme, para pendiri bangsa menggagas demokrasi yang sejalan dengan alam pikiran dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Yakni suatu demokrasi permusyawaratan yang menyediakan wahana bagi perwujudan semangat kekeluargaan dan keadilan sosial di bawah bimbingan hikmah-kebijaksanaan. di bawah semangat kekeluargaan, negara yang berkedaulatan rakyat itu mengandung cita-cita kerakyatan dan permusyawaratan. Dalam visi negara ini, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka ’musyawarah-mufakat”. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha (minorokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warganegara tanpa pandang bulu.
     Di bawah orientasi etis hikmah-kebijaksanaan, demokrasi direalisasikan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; serta nilai-nilai persatuan (kekeluargaan) dan keadilan. Demokrasi yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, mewajibkan para penyelenggara negara untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur. Demokrasi yang berdasarkan nilai persatuan dan keadilan, dituntut untuk dapat  melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Orientasi etis “hikmah-kebijaksanaan” juga mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan yang mendalam yang mengatasi ruang dan waktu tentang materi yang dimusyawarahkan. Melalui hikmah itulah mereka yang mewakili rakyat bisa merasakan, menyelami dan mengetahui apa yang dipikirkan rakyat untuk kemudian diambil keputusan yang bijaksana yang membawa republik ini pada keadaan yang lebih baik. Orientasi etis “hikmah-kebijaksanaan” juga menyaratkan kearifan untuk dapat menerima perbedaan secara positif dengan memuliakan apa yang disebut sebagai ”kebajikan keberadaban” (the virtue of civility); yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan dan kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.

   Untuk itu,  segala kekuatan dalam masyarakat, tanpa pandang bulu, harus diberi akses ke dalam proses pengambilan keputusan. Wakil-wakil rakyat berdialog dengan pengetahuan dan kearifannya; bukan dengan kepentingan kelompoknya. Dengan bimbingan hikmah-kebijaksanaan, perilaku politik yang etis akan berkembang. Di lembaga perwakilan, wakil-wakil rakyat berdebat, bersikukuh dengan kebenaran pendapatnya namun dengan menjunjung etika politik dan semangat kekeluargaan. Rakyat pun akan melihat apa yang dilakukan wakil-wakilnya itu memang merepresentasikan kedaulatan rakyat, bukan memperalat rakyat untuk mencapai tujuannya. Dengan dimuliakannya aspirasi rakyat dalam proses demokrasi politik di lembaga perwakilan, rakyat juga dituntut untuk menjadi warganegara yang bijaksana, yang memahami hak dan kewajibannya, serta bertanggung jawab dalam menjalankan partisipasi politiknya


Sumber : NEGARA PARIPURNA (Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas) karangan Yudi Latif (Penerbit Gramedia Pustaka) Pada BAB 5 (Lima) (Hal : 475 - 488)

5 komentar:

Unknown mengatakan...

nice post, thanks for sharing...
Jual Kondom
Alat Bantu Sex
Kondom Duri
Kondom Gerigi
Kondom Getar

Reseller De Nature mengatakan...

Obat Wasir

Admin ✔ mengatakan...

Kata kata bijak kadangkala menjadi motivasi bagi kita dalam menjalani kerasnya kehidupan.
Tidak semua yang ada di dunia ini bisa kita miliki sehingga kita pun merasa sedih karena tidak bisa meraihnya.
Maka dari itu dibutuhkan kata kata bijak tentang kehidupan yang bisa menenangkan hati agar menjadi lebih bijak dalam memaknai hidup.

Dengan mendengar atau membaca kata kata bijak singkat memang dapat memberikan semangat kepada seseorang untuk menghadapi kehidupan ini.

Baik dari masalah kehidupan sehari-hari maupun masalah percintaan, sebenarnya bisa saja dihadapi dengan bijak, namun bagaimana masing-masing pribadi menerima kenyataan dengan lapang dada dan pikiran terbuka.

Kontributor mengatakan...

*. Jual Herbal Bee di Jakarta
*. Jual Herbal Bee
*. Herbal Bee
*. Harga Herbal Bee 2019
*. Promil Herbal Bee
*. Jual Obat Cepat Hamil di Jakarta
*. Jual Obat Cepat Hamil
*. Obat Cepat Hamil
*. Jual Obat Cepat Hamil
*. Promil Herbal Bee

Kontributor mengatakan...

Herbal Bee
Promil Herbal Bee
Doa Agar Cepat Hamil
Promil Suami Azoospermia
Cara Cepat Hamil
Promil Yang Terbukti Berhasil
Obat Kuat Pria
Obat Kuat Pria
Promil Suami Asthenozoospermia
Tips Pemasaran

Posting Komentar